Brunei adalah Kerajaan Minang Modern

Silsilah Kerajaan Brunei mengikut pada Batu tarsilah dimulai dari Awang Alak Betatar, Raja pertama yang memeluk agama Islam (1368). Catatan tradisi lisan diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan “baru nah” setelah rombongan klan atau suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru. Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk transportasi dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka mereka pun mengucapkan perkataan “baru nah” yang berarti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan.

Kemudian perkataan “baru nah” itu lama kelamaan berubah menjadi Brunei. Di sini untuk sementara dapatlah kita simpulkan, berdasarkan syair Awang Semaun tadi, bahwa Pateh Berbai adalah pimpinan rombongan Suku Sakai yang melakukan migrasi dari luar pulau Borneo untuk mendirikan sebuah Negeri. Sebagaimana umum diketahui Suku Sakai menelisik sisi historis adalah sekumpulan Orang Minangkabau yang melakukan migrasi ke pedalaman Riau pada abad ke-14 M. Seperti halnya Suku Ocu, Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompok masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu.

Dari sinilah (Riau) kelompok masyarakat Sakai yang dipimpin Pateh Berbai berlayar menuju Borneo dan mendirikan sebuah pemukiman. Dari gelar yang digunakan Pateh Berbai pun sangat erat hubungannya dengan gelar bangsawan Pagaruyung yang sering menggunakan istilah Patih (Parpatih Nan Sabatang contohnya).

Masih dalam syair Awang Semaun itu juga disebutkan nama saudara dari Awang Alak Betatar yang mirip dengan nama yang dipakai Kerajaan Minangkabau tempo dulu seperti gelar “Pateh” dan “Damong”. Begitu pula gelar “Pengiran Bendahara” dan “Pengiran Tumenggong” (Minang: Katumanggungan).

Sementara kedatangan masyarakat Minangkabau yang Kedua dapat dilihat dari datangnya kerabat Diraja Minangkabau yang bernama Raja Umar pada masa pemerintahan Sultan Nasruddin (1690-1710). Kemudian Raja Umar yang selanjutnya dikenal dengan Dato Godam ini datang ke Brunei menyamar sebagai saudagar. Beliau merupakan keturunan Bendahara Tanjung Sungayang, Pagaruyung. Ayah Dato Godam yang bernama Bendahara Harun kawin dengan seorang wanita Belanda yaitu anak Jan Van Groenewegen yang menjabat sebagai Residen Belanda di Padang.

Menurut adat Minangkabau, Bendahara Harun merupakan anggota “Basa Ampek Balai” yang menjalankan administrasi kerajaan bersama-sama. Keputusan “Basa Ampek Balai” sebelum dijalankan haruslah mendapat persetujuan dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam merupakan penguasa kerajaan dan menguasai hukum menurut adat yang turun temurun. Raja Ibadat adalah raja yang menguasai hukum Islam sebelum dijalankan di tengah masyarakat. Dewan “Basa Ampek Balai” tersebut terdiri dari:

  1. Bendahara di Sungai Tarab.
  2. Tuan Gadang di Batipuh.
  3. Raja Indomo di Saruaso.
  4. Angku Kadi di Padang Ganting.

Dapat disimpulkan, melihat kedatangan gelombang pertama yang dipimpin Pateh Berbai sangat kental nuansa orang Sumatera / Sakai yang menurut sejarah merupakan kelompok masyarakat Pagaruyung (Minangkabau) yang hijrah ke pedalaman Riau. Analisa kedua ini yang mendapatkan sinyalemen orang Brunei adalah keturunan Minang berdasarkan syair Awang Semaun tadi yang menyebutkan nama saudara Awang Alak Betatar yang menggunakan gelar khas Pagaruyung.

Kemudian  gelombang kedua yakni kedatangan Raja Umar (Dato’ Godam). Dato Godam merupakan seorang yang bijaksana dan terdidik serta memiliki pengetahuan yang tinggi sehingga dirinya cepat dikenal di Brunei. Kehadirannya disambut baik oleh Sultan yang memerintah yaitu Sultan Nasruddin karena dinilai memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam menjalankan pemerintahan. Sultan Brunei meminta Dato Godam menetap di Brunei dan disuruh menikah. Karena merasa “berhutang budi”, Sultan Nasruddin menawari Dato Godam permintaan apa saja untuk dipenuhi. Dato Godam kemudian menyatakan keinginannya mempersunting anak Pengiran Tumenggong Pengiran Abdul Kadir yang menjadi istri ketiga Sultan. Permintaan tersebut dikabulkan Sultan. Bersama perempuan bernama Tandang Sari inilah, Dato Godam kemudian mendapatkan dua anak yaitu Manteri Uban dan Manteri Puteh. Dato Godam berjasa menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi pada waktu itu sehingga beliau semakin disukai Sultan. Apa yang dilakukannya tidak lepas dari pengalamannya di Kerajaan Minangkabau.

Atas permintaan ayahnya Bendahara Harun, Dato Godam bermaksud meninggalkan Brunei untuk kembali ke Minangkabau dengan membawa anaknya, Manteri Uban (nama sebenarnya Abdul Rahman). Dengan berat hati Sultan Nasruddin memberi izin dengan syarat agar anak keduanya, Manteri Puteh tetap tinggal di Brunei sebagai cikal-bakal administrator pemerintahan dan diharapkan memiliki loyalitas yang tinggi kepada Sultan sebagaimana yang telah ditunjukkan Dato Godam. Di samping itu, Sultan Nasruddin berjanji akan menganugerahkan keistimewaan kepada anak cucu Dato Godam sebagai keturunan bangsawan sebagaimana di Minangkabau. Keturunan inilah yang sekarang disebut ‘Awang-awang Damit’ dan dipilih oleh para Sultan Brunei untuk dianugerahi gelar ‘manteri’ yaitu pembesar negara yang turun temurun.

Sampai saat ini masih banyak kosakata Brunei yang mirip dengan bahasa Minang, seperti:

  • inda (Brunei) – indak (Minang).
  • kalat mata (Brunei) – kalok mato / ngantuk (Minang).
  • banar (Brunei) – bana (Minang).
  • basuh (Brunei) – basuah (Minang).
  • hampir (Brunei) / dekat (dalam Melayu Standar) – hampia (Minang).
  • nini (Brunei) / datok = Melayu Standar – niniak (Minang).
  • bulih (Brunei) – buliah (Minang).

Dan banyak lagi lainnya tidak bisa dimasukkan satu persatu.

Intinya, melihat fakta sejarah yang bermula dari Awang Alak Betatar atau kemudian Pateh Berbai beserta rombongan Sakai-nya mendirikan suatu pemukiman yang disebut “baru-nah” / Brunei sampai pada kedatangan Raja Umar / Dato Godam, Brunai sangat erat kaitannya dengan Minangkabau….

Analisa ini mungkin merujuk pada kebenaran atau tidak semua ada kemungkinan. Pasal sejarah Brunei di kalangan ahli sejarah maupun masyarakat Brunei mereka selalu merujuk kepada syair Awang Semaun yang diceritakan sejarah awal bangsa Brunei dimulai kira-kira pada abad ke-14 Masehi, sedangkan kami masyarakat Minang mengkaji asal usul sejarah bangsa kami dari kitab “TAMBO” yang lebih kuno lagi tarikh sejarahnya dari syair Awang Semaun.

Dalam kitab Tambo sendiri nenek moyang bangsa Minang diceritakan adalah Iskandar Dzulkarnain, dlm Tambo pun tidak dijelaskan ini Dzulkarnain siapa, apakah Iskandar Dzulkarnain yang disebutkan di Alquran atau Iskandar Dzulkarnain lain lagi kami tidak tahu. Namun mengenai indikasi bahwa masyarakat Brunei merupakan keturunan Minang rasa sangat besar kemungkinannya, merujuk riwayat syair Awang Semaun yang mengatakan Pateh Berbai / Sultan Ahmad memimpin rombongan kaum Sakai yang mencari lahan baru untuk mendirikan sebuah negeri sangat meyakinkan.

Sebagaimana diketahui sepanjang sejarah Nusantara tidak diketahui suku Sakai lain, melainkan yang mendiami pedalaman Riau (keturunan Minang zaman Pagaruyung). Kalaupun mungkin ada suku Sakai dari Champa ini juga musti dilakukan penelitian sejarah.

Tinggalkan komentar