Pesantren;radikalis, matrealis, dan sadistis

Santri Merokok

Saya Muslim. Lahir dan besar di lingkungan para alim ulama di tanah Minangkabau. 42 tahun saya hidup di pulau Jawa. Pekerjaan saya sebagai penjual jaringan internet, mengantar saya berkenalan dengan pemilik pesantren  di pulau Jawa.

Saya kenal dengan mbah Lim (alm),pemilik pesantren yang cuma bisa boso Jowo. Dan banyak kyai yang lain.

Suatu hari, saya dipanggil untuk interkoneksi jaringan ke pesantren Darul *** di Sukabumi. Pesantren ini letaknya tidak jauh dari sekolah Polisi Lido. Disana saya melihat sudah berdiri tower triangle 30 meter. Yang belum ada jaringannya. Setelah masuk, saya ketemu Kyai. Dia minta saya, menghidupi  jaringan wifi di pesantren ini. Diperlukan perangkat radio dan jaringan.

Pak Kyai, memiliki banyak mobil mewah dan tanah hektaran. Sementara para santri yang masih belia itu orangtuanya banyak yang datang dengan kendaraan roda dua, dari berbagai kota. Mereka rata-rata dari kalangan pas-pasan, dan menginginkan anaknya ‘selamat’ dari perilaku dunia. Entah dunia mana. saya ngak ngerti.

Ketika saya masuk ke WC sekolah, saya lihat sebuah tulisan ; MAMA SAYA KANGEN KAMU…. Tulisan lain di tembok belakang sekolah: Aku mau  pulang ke rumah.

Tulisan itu sangat menyentuh hati. Membayangkan berapa lama anak-anak dipisahkan dari kasih sayang orangtua. Berapa banyak mereka yang kehilangan belaian dan kata-kata cinta dari orangtuanya. Mereka dibelenggu dengan dokrin, dan pebelajaran Agama, yang belum tentu mereka gunakan untuk kehidupannya. Kita tahu betapa banyak pesantren melahirkan wanita Lesbian dan Gay. Dan itu bukan rahasia umum lagi. Berapa banyak pula para kyai mengajarkan Poligami, dan kebencian terhadap agama lain.

Ketika saya tanyakan kegunaan internet bagi Santri, kyai itu berkata. Mereka juga butuh hiburan facebook, dan chatting. Lantas ilmu pengetahuan juga mereka akan dapatkan melalui google. Ya Google, dan Facebook sudah melebihi Agama mana pun. Setiap pagi, setiap hari. Bangun tidur. Yang pertama dibuka adalah status mereka yang menjadi sahabat. Dulu pagi hari, orang yang beragama akan berdoa, dan melakukan ibadah sesuai kepercayaannya.

Secara logika mereka akan berpikir tentang keberadaan Agama di muka bumi. Mungkin suatu saat mereka akan bertanya, apakah beda alien dan para malaikat itu. Alien juga bisa melakukan apa yang dilakukan Malaikat. Membawa terbang manusia ke langit ke tujuh. Membedah manusia dengan tangan. dan sebagainya.

Keberadaan agama lain juga dipertanyakan. Tentang teknologi yang bisa mengungkap  tentang kain kafan Tifany yang palsu, atau tentang kehidupan lain di luar bumi. Ditemukannya air di Mars, dan planet berpenghuni di langit ke tujuh dengan kehidupannya. Sungguh apa artinya Agama  nantinya bagi kehidupan manusia, jika teknologi dan informasi telah membuka tabir itu.

Dan mereka para santri yang berada di pesantren  itu, masih  muda, dan polos. Seperti kertas putih, mereka didokrin tentang Agama. Tentang Nabi, tentang kitab  suci. Mereka mempelajari itu, dan harus menerima, tanpa harus boleh bertanya KENAPA? Suatu pertanyaan yang biasa kita dengar dari para bocah non santri yang ada di perkotaan. Para bocah di perkotaan, akan selalu bertanya tentang kata: Mengapa tentang sesuatu yang menjadi pertanyaan mereka.

Karena tidak bisa bertanya, dan selalu menjadi pertanyaan. Hal itu jelas akan menjadikan pesantren menekankan paham radikal kepada mereka. Mengharuskan seseorang mengerti, dan tidak boleh bertanya tentang bagaimana harus mengerti. Kalau mengerti ya masuk surga. Sungguh biadab jika hal itu diajarkan kepada para bocah itu. 

Selain itu tiap bulan para orangtua santri dibebankan biaya makan, pendidikan dan uang asrama. Saya melihat asrama mereka seperti tempat pengungsian. Tidur ala kadarnya. Selesai belajar, dan mengadakan kegiatan extra kurikuler, langsung tidur. Tidak ada rekreasi, kunjungan kerja, keluar pesantren. Tidak ada yang namanya saling tinjau antar pesantren dan tempat pendidikan agama lain, sebagai studi banding misalnya. Sehingga ini akan memberikan wawasan pandangan dan saling menghargai, sebagai toleransi. Jika tidak demikian, tentu akan melahirkan santri yang herostis, dan menjadikan mereka lebih baik dibanding pemeluk agama lain. Sungguh sadis bila itu terjadi.

Meski mereka membayar uang makan, yang lebih mahal dibandingkan makan di warung Padang untuk sekali nyantap. Tetapi mereka makan ala kadarnya. Tempe, seperempat paha ayam, dan nasi boleh dilahap berapa suka. Saya tidak menemukan anak santri yang gemuk di tempat itu, rata-rata dengan tubuh yang kurus dan ramping. Beda dengan kyainya yang gemuk, dan jalan saja tertatih tatih, seperti saya. (saya dapat info isteri Kyai ini 3)

Banyak pesantren sekarang mengatakan dirinya, sebagai pesantren modern. Mungkin itu benar, dengan penyediaan laboratorium komputer, pembelajaran bahasa asing, dan sebagainya. Tetapi dalam praktiknya mereka tetap mengajarkan tentang ‘kebenaran yang satu’ dan yang lain tidak benar. Itu adalah ajaran radikalisme.

Di daerah Pamijahan, Bogor, aku punya sahabat juga. Dua kyai, dari dua pesantren berbeda. Satu pesantrennya baru saja aku pasang internet. Di Pamijahan banyak sekali pesantren yang santrinya dari berbagai kota di Indonesia.

Ketika berkunjung ke satu pesantren aku menemukan, seorang anak berpelukan dan bertangisan dengan ibunya yang sudah enam bulan tak mengunjungi. Dan hanya bisa saling mendengarkan suara via telepon setiap Sabtu dan minggu saja.

Saat aku mendekat, berjabat tangan. Kemudian bertanya kepada sang ibu tentang ayahnya, ternyata mereka sudah bercerai berai. Ibunya menikah lagi, dan anaknya dititipkan di pesantren ini. Saya makin penasaran, dan bertanya pada satu guru di pesantren itu. Rupanya 40% dari santri disini, adalah orang-orang dari keluarga bermasalah.

Misalnya; ada yang bapaknya kerja di kota lain, dan ibunya di kota lain. Artinya ini orang sama sibuk mencari uang. Atau orangtua yang tidak sempat mengajarkan agama yang benar, karena waktu mudanya tidak diajarkan agama oleh orangtuanya. Dan menyerahkan kepada pesantren.

Makanya tidak heran, minggu ini ibunya yang datang, minggu besok bapaknya.

Dan ketika semalam isteri saya menginginkan putri saya masuk pesantren, saya langsung menolak. Saya tidak ingin anak saya menjadi generasi yang sadistis,  materalis dan radikal. Lihat saja dengan pimpinan PKS yang banyak terlibat korupsi itu. Atau dengan orang PKB yang dengan sadis merebut tahta dari moyangnya. Lihat juga bagaimana politisi busuk masuk dan minta dukungan  ke semua pimpinan pesantren.

Cukuplah anakku memahami agama dengan memberikan les pengajian setiap waktu dengan kunjungan guru ke rumah. Dan mendengarkan para ustadzah memberikan bimbiongan kebaikan dalam beragama.

Aku tidak ingin nanti anakku menjadi seorang fanatisme, yang menjadi musuh bagi orang lain. Menjadikan agama, sebagai alat perang dan bumper bagi hal yang merugikan orang lain.

Aku ingin anakku, seperti para Ulama Minang. Mendirikan pesantren tanpa bayaran. Mengajarkan agama dan kehidupan bermasyarakat. Sehingga di tanah itu, Agama bersandi syarak, bersandi Kitab Allah.

Lihatlah, jutaan orang Minang bisa berdampingan hidup dengan suku dan agama lain, di seluruh penjuru dunia. Aku jarang menemukan bekas santri dari pulau Jawa yang bisa melakukan itu.
Mereka paling jauh merantau ke Jakarta, atau pusat-pusat Islam di Dunia. Berbisnis juga dengan sesama agama. Dan melahirkan sektarian dan sukuisme.

Lihatlah kejadian perang dan bentrok antar agama yang belakangan ini terjadi.

Aku teringat masa sekolah di Solok dulu. Dimana penduduk  setempat membangun Jembatan ratusan juta  yang seharusnya dibangun negara. Jembatan itu dijalani orang berbagai suku dan agama. Uangnya dikumpulkan dari jumatan mesjid di berbagai kota di Indonesia, dimana perantau daerah itu mencari kehidupan.

Di Bukittinggi,  kota dengan Islam mayoritas misalnya. Sekarang sudah banyak berdiri gereja. Dan mereka saling menghormati dalam beribadah. Tanah Minang itu, begitu toleran dalam segala hal. Dari masjid kita telah diajarkan, menghargai, menghormati, dan menjalin persahabatan. Agamamu adalah milikmu, agamaku adalah punyaku.

Mungkin aku salah. Dan ini adalah sebuah pendapat pribadi. Bagiku komunitas  Agama tidak bisa disatukan dengan komunitas usaha. Orang perlu hidup dengan berusaha yang jujur dan benar. Orang  tidak harus hidup pada suatu komunitas dengan agama dan ajaran  tertentu, sesuai dengan kebenaran yang mereka anut. Karena semua manusia dilahirkan pada dasarkan belum memiliki agama. Dan kemudian besar dengan mempelajari Agama yang dianut orangtuanya. Maka tidak seharusnya Agama, menjadikan permusuhan diantaranya.

Tinggalkan komentar